Pemantik Kecil Agar Hidup Lebih Terarah, Berarti, dan Bermakna
Mahir Menyair: 7 hal yang layak dibagikan minggu ini
Halo, Penyair!
Saya hendak membuka jurnal ini dengan kalimat “Tidak terasa ….”, tetapi entah ada keraguan macam apa yang mendadak muncul begitu saja. Jelasnya, terasa atau tidak, jurnal MAHIR MENYAIR ini sudah sampai di terbitan ketiga.
Saya senang sekali ketika membuat sesuatu dan ada satu atau dua orang saja yang menikmatinya—syukur-syukur merasa terbantu dengan keberadaannya. Bagi saya, hal semacam itu yang paling penting dari adanya sesuatu—biasa kita sebut sebagai karya.
Tidak muluk-muluk, karya itu adalah apa-apa yang dibuat, dicipta, dan dihasilkan dari kerja-kerja kreatif. Mungkin akan ada yang menanggapi: apakah sedangakal itu?
Iya. Bagi saya, apa saja bisa disebut sebagai karya, asalkan ada hasil yang bisa “dijangkau”—dilihat, didengar, dibaca, dirasa, atau nikmati—oleh orang lain. Namun, apakah iya, kita sebagai menusia yang ingin kehadirannya bermanfaat untuk orang lain, lantas membuat, mencipta, dan menghasilkan karya yang dangkal dan justru berdampak buruk semacam itu?
Nah, barangkali, ini yang terlebih dahulu mestinya kita tanyakan kepada diri sendiri. Tentunya sebelum sungguh-sungguh memilih “jalan karya” sebagai rute utama di dalam menjalani kehidupan.
Baiklah. Sekadar itu sebagai pemantik kecil agar hidup kita—sebagai seorang seniman dan manusia pada umumnya—tetap “menyala”, sehingga menjadi lebih terarah, berarti, dan bermakna.
Semoga jurnal minggu ini tak hanya mencerahkan bagi seorang penyair. Namun, yang tidak boleh kita lupakan, bahwa sejatinya kita adalah manusia. Semoga kehadiran jurnal ini juga dapat dirasakan manfaatnya oleh kawan-kawan lintas bidang—apa pun jenis dan bentuk karyanya.
Berikut 7 hal yang menurut saya layak dibagikan minggu ini:
1. Ketika hendak membuat sesuatu, saya kerap bertanya kepada diri sendiri: Mulai dari mana? Jenis pertanyaan semacam ini akan lebih efektif, jika diberikan jawaban berupa hasil pengalaman orang-orang yang telah bergulat dengan kehidupan dan menghabiskan banyak waktu di sekitar “sesuatu” itu diciptakan. Sekali lagi saya sarankan untuk baca lebih lanjut nasihat dari seorang penyair anutan saya, Joko Pinurbo, di jurnal kutipan saya yang berjudul Menulis Puisi: Mulai dari Mana?
2. Pada suatu wawancara, Dea Anugrah ditanya: Selain menulis prosa, Dea juga menulis puisi, bagaimana Dea menerapkan pendekatan pada dua gaya ini?
“Saya menulis puisi seperti puisi-puisi yang saya senang membacanya dan menulis prosa seperti prosa-prosa yang saya senang membacanya,” jawabnya. Kalau kita paham konsep ini, tentu mulai sekarang, apa yang “dibaca” akan jauh lebih terarah, tertarget, dan efektif sebagaimana kualitas karya yang kita inginkan.
3. “Writer’s block itu seperti dosa. Kalau kita tidak memikirkannya, ia tidak ada. Seperti kata Szymborska: dua puluh tujuh tulang, tiga puluh lima otot, dan dua ribu saraf pada tiap ujung jari-jari kita sudah lebih dari cukup untuk menulis apa saja,” jelas Dea Anugrah perihal cara mengatasi kebuntuan menulis.
4. “Sapardi menyampaikan bahwa pengalaman puitik adalah sesuatu yang unik, dan keotentikannya hanya akan terjamin apabila penyair berhasil melahirkan bahasa yang unik. Ini bisa tercapai lewat eksperimen-eksperimen yang tekun.” —Hasan Aspahani (Wawancara yang diberi tajuk Sesuatu Sapardi: Anda Bahagia Menulis Puisi? oleh Hasan Aspahani ini menarik untuk dibaca lebih dalam lagi).
5. “Tidak semua yang saya tulis ada hubungannya dengan sesuatu. Saya mengandalkan imajinasi.” —Sapardi Djoko Damono (Di balik kerja kreatif Sapardi melahirkan karya-karya hebatnya, ternyata ada peran imajinasi yang kerap diandalkan).
6. Dari Cak Nun alias Emha Ainun Najib kita juga bisa belajar banyak perihal karya sastra: “Kalau Anda menjumpai karya sastra, itu juga bukan berasal dari para sastrawan mendadak, melainkan tahap dari pengalaman dan kelahiran mereka yang baru." Dalam tulisannya berjudul Qiraah dan Ro’iyah Anak-Anak Muda Islam.
7. Terakhir, ada nasihat dari penyair bahasa Jerman terbesar dari abad 20, Rainer Maria Rilke: “Jika kehidupanmu sehari-hari terasa miskin dan gersang, jangan sesalkan dirimu, katakanlah pada dirimu, kepenyairanmu tidak cukup untuk dapat menggali kekayaan dirimu. Karena bagi setiap pencipta tidak ada kegersangan dan tidak ada tempat yang penting dan gersang. Bahkan jika kau sekiranya berada dalam penjara dengan tembok-temboknya yang menjauhkan kau dari suara dunia,—bukankah kau tetap masih memiliki masa kanak-kanakmu sebagai gudang khazanah kenangan yang kaya raya? Perhatikanlah itu.”
Terima kasih sudah membaca! Buletin ini adalah publikasi buatan tangan dan sepenuhnya didukung oleh pembaca. Kami berusaha agar buletin ini terbit setiap hari Jumat—dan kamu dapat membantu mempertahankannya dengan menjadi pelanggan berbayar, meneruskan buletin kepada kawan, atau bahkan cukup mengeklik tombol “suka” di bawah.
Oh, ya. Jika kamu ingin mendukung kerja kreatif kami, silakan membeli buku-buku dan produk digital original di @kerjarasa (Bayar sesukamu khusus bulan Oktober 2023). Kami juga mengelola agensi kreatif bernama @perajinkatacom yang siap bantu kamu menyelesaikan segala macam permasalahan penulisan kreatif, sastra, dan media sosial, bahkan identitas jenama (brand identity).
Dapatkan kiat praktis memahami + menulis puisi di @mahirmenyair. Monetisasi puisimu dan tingkatkan pendapatan pasif serta pendapatan aset digitalmu bersama penerbit digital @ruangrasaproject.
Tabik!
AGOY TAMA
Penyair Digital, Founder Ruangrasa Project