Menulis Puisi: Kerja Pikiran Atau Kegiatan Klenik Tak Terkontrol Nalar?
Mahir Menyair: 7 hal yang layak dibagikan minggu ini
Halo, Penyair!
Pekan ini terhitung menyenangkan dan sekaligus melelahkan—baru disadarkan oleh salah satu kawan kalau air muka saya tampak lelah dan kurang tidur pagi tadi. Padahal, soal pola dan waktu tidur saya juga tidak begitu berbeda dari pekan-pekan sebelumnya.
Ya, pekan ini saya memang sudah mulai masuk kantor. Barangkali, ini upaya saya keluar dari zona nyaman—padahal yang dicari, kan, kenyamanan itu sendiri, ya.
Selama ini saya sudah merasa nyaman kerja dari rumah, merintis bisnis sendiri dengan beberapa kawan dari jarak jauh, dan berkarya dengan tenang di rumah. Namun, saya tidak menafikan bahwa ada beberapa titik dan momen ketika kita harus menurunkan ego demi menyiapkan diri untuk hal-hal yang hendak dijalani di hari depan.
Semoga hari depan semangat berkarya saya masih tetap seperti biasanya—sebelum kerja-kerja duniawi di kantor perlahan akan membanjiri isi kepala.
Akhirnya, sampai juga pada jurnal MAHIR MENYAIR terbitan kelima. Semoga jurnal minggu ini bisa jadi “sorotan” untuk mempermudah dalam berlatih menulis puisi.
Berikut 7 hal yang menurut saya layak dibagikan minggu ini:
Hasan Aspahani dalam Surat untuk Seseorang yang Bertanya Soal Puisi 2: “Menyair, saya percaya, adalah usaha membuka jalan ke masa depan bahasa.”
Hasan Aspahani: “Saya memperkaya diri dengan hal-hal yang membuat saya terus mencintai dan betah di dunia puisi. Saya membangun perpustakaan kecil, melengkapi buku-buku puisi dari penyair yang saya gemari, yang diam-diam saya curi jurus-jurusnya. Iya, betul, mencuri.”
“Pengarang bukan hanya berhak untuk melanggar kaidah-kaidah bahasa. Lebih dari itu, mereka bebas untuk menyimpang dari kenyataan.” — Yudhistira
Saini K.M: “Puisi, di samping yang lain-lain, meminta kemampuan kepada kita untuk menyodorkan atau menuliskan pengalaman dengan cara tertentu.”
“Tidak ada cara yang lebih ganas menghalangi pertumbuhanmu kecuali dengan melihat ke luar, dan upaya mengharapkan jawaban dari luar, terhadap pertanyaan-pertanyaanmu yang agaknya hanya perasaanmu yang paling dalam dan saat-saatmu yang paling hening bisa menjawabnya.” — Rainer Maria Rilke
Buku puisi: “Pohon Ibu”, salah satu judul puisi yang saya sukai di dalam buku Puasa Puisi karya Widya Mareta pada halaman 21: adalah pohon yang menetap di kakinya, / istana bagiku kelak.
Nasihat penyair: “Jadi, menulis puisi adalah kerja pikiran, bukan kegiatan klenik yang tak terkontrol oleh nalar.” — Joko Pinurbo, Berguru kepada Puisi, hlm. 14
Terima kasih sudah membaca! Buletin ini adalah publikasi buatan tangan dan sepenuhnya didukung oleh pembaca. Kami berusaha agar buletin ini terbit setiap hari Jumat—dan kamu dapat membantu mempertahankannya dengan menjadi pelanggan berbayar, meneruskan buletin kepada kawan, atau bahkan cukup mengeklik tombol “suka” di bawah.
Oh, ya. Jika kamu ingin mendukung kerja kreatif kami, silakan membeli buku-buku dan produk digital original di @kerjarasa (Bayar sesukamu khusus bulan Oktober 2023). Kami juga mengelola agensi kreatif bernama @perajinkatacom yang siap bantu kamu menyelesaikan segala macam permasalahan penulisan kreatif, sastra, dan media sosial, bahkan identitas jenama (brand identity).
Dapatkan kiat praktis memahami + menulis puisi di @mahirmenyair. Monetisasi puisimu dan tingkatkan pendapatan pasif serta pendapatan aset digitalmu bersama penerbit digital @ruangrasaproject.
Tabik!
AGOY TAMA
Penyair Digital, Founder Ruangrasa Project