I
Catatan harian semacam apa yang kauinginkan?
Apakah yang mesti penting di dalam hidupmu yang genting; apakah mesti berkesan di keseharianmu yang membosankan; apakah mesti bermakna di tengah tebaran konten yang tak ada isinya; apakah apakah apakah?
Seninmu, seperti biasa: kau masuk kantor, terlambat; alasan olah raga agar tetap sehat; dan sarapan yang tak sempat; juga bangun kesiangan dan kesialan-kesialan lainnya.
Sementara Selasa pagi yang lumrah kausambut dengan indah, karena ada “morning call” di kantor dengan nasihat-nasihat yang menggugah, harusnya bikin sehat telinga dan hatimu yang sebentar-sebentar sekarat sedikit-sedikit sakit—akhirnya kau tiup peluit, tanda menyerah paling rumit.
II
Rabu yang tetap saja hendak membendung rindu yang menggebu tak sanggup lagi menghalau waktu terus berputar mengelilingi angka-angka bergantian dan pada akhirnya mengacungkan ibu jarinya kepada anak kecil di persimpangan jalan takdir yang membawanya sampai ke nadir.
Kau hanya memberikannya satu kata dan menjalinnya dengan benang-benang berwarna merah berarti berani memburu puisi yang liarnya tak terbendung nurani dan hanya akal sejati yang mampu menangkap makna Tuhan yang anugerahkan hati untuk berjaga diri sampai sadar diri.
Kamis, Jumat, hingga Sabtu yang berhasil mengutuhkanmu: dari bertukar pikiran yang radikal tapi puitis hingga bertukar perasaan yang dalam tapi mudah dihanyutkan—kaulewati jalan cerita naik-turun jatuh-bangun dan semoga tetap terbangun dengan semangat nyala api serta nyala-nyala apa saja yang telah tergenapi.
III
Minggu memulangkanmu dari riuh kota dan tugas-tugas duniawi yang memusingkan kepala dan menjegal pikiran-pikiran tentang masa depan yang tak mudah diterka hingga kau pada akhirnya diterkam rasa bersalah karena tak sedini mungkin menyiapkan segala perbekalan yang dibutuhkan di perjalanan.
Tiba di desa yang jauh dari berisik opini kekinian dan polusi pemikiran yang aneh-aneh perihal Tuhan yang jadi bahan tawa demi eksistensi dan monetisasi keseharian tetap bertahan di tengah gempuran Barat merusak isi kepala dan jalan pikir yang kian kemari kian mangkir di atas meja diskusi dan debat kusir tak berisi—hanya debu-debu teori yang tak berdampak bagi kehidupan yang fana ini.
Dan pada paragraf terakhir tulisan yang berpura-pura jadi prosa tapi amat puitis ini seperti cerita yang tak cukup dibaca sekali duduk di atas kursi panas duniawi sembari memohon tempat terbaik dengan doa-doa bernuansa surgawi ini, hendak memesan seporsi takdir yang menghidangkan nikmat puisi dengan kata-kata yang tak akan pernah tertandingi meski merupa apa saja: cerita panjang tentangmu atau puisi pendek yang mewakili perasaanmu—itu saja. Kau hendak menuju Senin dan hari-hari lain yang memuatmu dengannya dipenuhi nuansa bahagia di sudut-sudut ruang rasa di dalam kepala yang bisa saja terpecah jadi dua karena egomu dan egonya yang mendadak baku hantam bagai dua batu keras saling dilemparkan berlawanan.
Malang, 4—10 Desember 2023
Terima kasih sudah membaca! Buletin ini adalah publikasi buatan tangan dan sepenuhnya didukung oleh pembaca. Kamu dapat membantu mempertahankannya dengan menjadi pelanggan berbayar, meneruskan buletin kepada kawan, atau bahkan cukup mengeklik tombol “suka” di bawah.
Oh, ya. Jika kamu ingin mendukung kerja kreatif kami, silakan membeli buku-buku dan produk digital original di @kerjarasa (Bayar sesukamu khusus bulan Desember 2023). Kami juga mengelola agensi kreatif bernama @perajinkatacom yang siap bantu kamu menyelesaikan segala macam permasalahan penulisan kreatif, sastra, dan media sosial, bahkan identitas jenama (brand identity).
Dapatkan kiat praktis memahami + menulis puisi di @mahirmenyair. Monetisasi puisimu dan tingkatkan pendapatan pasif serta pendapatan aset digitalmu bersama penerbit digital @ruangrasaproject.
Tabik!
AGOY TAMA
Penyair Digital, Founder Ruangrasa Project